Pengalaman Psikotest Persiapan Sekolah Dasar
Pada mulanya, saya dan keluarga cukup sinis ketika mendengar bahwa beberapa sekolah dasar mewajibkan calon siswanya untuk mengikuti ujian psikotest sebagai salah satu persyaratan ujian masuk. Kebetulan, ibu saya adalah guru SD senior yang menurut saya, beliau sangat paham tentang dunia pendidikan sekolah dasar. Ibu saya juga menyatakan bahwa bukanlah sebuah kewajiban bagi anak TK menjelang SD untuk mampu membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Orang tua bagi anak di usia bawah tujuh tahun berkewajiban untuk mendorong kreativitas anak, bukan fokus untuk mengajarkan calistung pada anak. Saya pun sebagai orang tua turut mengamini pernyataan tersebut.
Akhirnya tibalah bagi saya mendampingi anak saya untuk mendaftar di sekolah dasar. Kalau boleh jujur, saat ini anak saya sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung dengan sangat baik dan lancar. Kami tidak pernah memaksa anak untuk belajar calistung namun Alhamdulillah semua berjalan secara alami. Jauza mengikuti kegiatan di TK, belajar dari televisi, menonton siaran youtube, dan terkadang juga sering bertanya kepada kami ketika dia ingin paham lebih jauh tentang sesuatu. Mungkin hal-hal itulah yang mendorongnya untuk mampu membaca, menulis, dan berhitung. Yang jelas tidak ada tindakan khusus yang kami lakukan agar Jauza dapat melakukan calistung.
Lantas kenapa saya harus khawatir? yah maklumlah mak. Sebagai orang tua baru dan pemula dalam mendampingi anak memasuki sekolah dasar, tentunya saya khawatir dan mencoba untuk mempersiapkan sedini mungkin 'alat tempur' psikotest persiapan sekolah dasar. Saya pun mencoba bertanya ke teman-teman senior yang telah memiliki pengalaman mendaftarkan anak ke sekolah dasar. Rata-rata dari para orang tua memiliki jawaban yang serupa bahwa dalam ujian psikotest masuk SD dilakukan uji kreativitas, kemampuan mengingat, uji ketangkasan, dan lain sebagainya.
Pagi itu, Jauza sangat antusias untuk melakukan psikotest di calon SD-nya. Jauza memang tipe anak yang santai dan mungkin belum paham betul apa makna dari ujian psikotest. Jauza bersama dengan 34 calon siswa lain berada di ujian sesi pertama. Sebagai informasi, ujian dilakukan dalam dua sesi, yakni sesi pertama dan sesi kedua. Terdapat tujuh kelas yang digunakan untuk ujian psikotest di mana masing-masing kelas akan diisi oleh lima calon siswa dan satu guru pendamping. Wah kebetulan sekali Jauza bersama tiga teman TK-nya berada di ruang ujian yang sama. Dan para orang tua dilarang untuk mendampingi putra/putrinya selama ujian berlangsung.
Secara detail saya kurang tahu apa yang menjadi bahan ujian psikotest anak saya. Namun, menurut penjelasan Jauza, beberapa soal mengharuskan dia untuk menunjukkan pernah/tidaknya dia melihat benda-benda dalam gambar dan mencari persamaan gambar. Hanya itu yang berhasil saya korek darinya, hahaha. Oh, iya satu lagi, dia berkata bahwa dia belum tahu ketika ibu guru menanyakan tanggal lahirnya, hahaha, saya sih cukup maklum dengan hal itu. Ketika saya bertanya apakah soal-soal yang diujikan masuk dalam kategori susah, sedang, atau mudah. Dengan gaya centilnya, dia berkata, "gamping, bun" (istilah bagi dia untuk menunjukkan bahwa hal tersebut mudah).
Jadi bapak/ibu sekalian, justru yang menjadi pemeran utama dalam psikotest ujian masuk SD anak saya adalah para orang tua murid. Selama anak-anak ujian, kami para orang tua dibekali dengan beberapa materi, pembekalan, dan pengalaman dari sekolah serta diwajibkan mengisi dua jenis kuesioner. Kueisonernya cukup tebal loh. Saya sih senang-senang saja karena saya pribadi sangat familiar dan terbiasa mengisi serta membaca kuesioner.
Kuesioner pertama berisi pertanyaan seputar riwayat anak, seperti riwayat kelahiran (di mana dan kapan anak dilahirkan, berapa berat dan tinggi saat dilahirkan, kapan anak mampu berjalan/berbicara, riwayat penyakit, dan sebagainya), kemampuan anak (apakah anak kita sudah mampu menulis, mampu membersihkan diri, mampu menyelesaikan masalah, mampu makan sendiri, dan lain sebagainya), karakter anak (kami diminta untuk menyebutkan kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh anak kami), dan di akhir sesi secara tidak langsung mampu mengklasifikasikan anak-anak kami ke dalam kategori anak auditory, kinesthetic, atau visual berdasarkan sifat dan sikap anak kami sehari-hari dalam sudut pandang penilaian kami. Nah di sini saya merasa cukup heran dengan hasil tes yang saya lakukan, selama ini saya merasa bahwa Jauza tergolong sebagai anak kinesthetic dilihat dari kesehariannya yang cukup lincah dan energik, namun hasil tes malah menunjukkan hal sebaliknya di mana anak saya memiliki kecenderungan sebagai anak auditory dan visual (dominan auditory namun hanya selisih satu poin dengan penilaian visual).
Kuesioner kedua berisi pertanyaan tentang apa yang menjadi harapan kami para orang tua kepada sekolah, guru, dan fasilitas-fasilitas sekolah, termasuk juga pertanyaan tentang apa yang dapat kami berikan kepada sekolah sebagai wali murid nanti. Kalau saya pribadi sih akan menyumbangkan ide-ide dan gagasanlah yaa... hahaha.
Pada intinya, kesan saya setelah mengikuti ujian tersebut bahwa ujian psikotest ini adalah ujian persiapan bagi orang tua.
Saran saya, sebagai orang tua tidak usah terlalu risau jika memang anak kita diwajibkan untuk mengikuti ujian psikotest. Bagi saya, menjawab pertanyaan dengan jujur dan apa adanya jauh lebih penting dari pada mencoba untuk menjadi sempurna. Apapun hasilnya, anak saya dan saya telah melakukan yang terbaik.
Thank you, readers!
Komentar
Posting Komentar