Unbeatable

Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman mendidik dan membesarkan seorang putri kecil, terutama terkait pendidikan di sekolah. 

Pada mulanya pada saat anak saya memasuki usia PAUD, saya cukup santai sebagai seorang ibu. Maksudnya saya tidak cukup terobsesi agar anak saya menjadi yang 'paling xx' di sekolahnya. Kegiatan sekolah mengalir begitu saja tanpa begitu banyak campur tangan dari saya. Saat itu saya cukup rajin membaca buku dan mengikuti beberapa grup parenting  dan saya masih sangat yakin dengan tekad dan prinsip bahwa usia PAUD adalah usia bermain bagi anak-anak. Saya cukup sering mengikutsertakan anak saya untuk mengikuti perlombaan tertentu bukan untuk tujuan memenangkan perlombaan tersebut, namun lebih kepada tujuan mengenalkan dia tentang 'dunia', pertemanan, makna kompetisi, bahkan terkadang sekedar mengisi hari libur dan weekend. Pada kenyataannya, Jauza seringkali memenangkan lomba-lomba khususnya perlombaan mewarnai. Kami sebagai orang tua menganggap itu sebagai bonus dan bakat yang anak saya miliki.

Tahun berlalu, saatnya anak saya memasuki usia TK. Kami sengaja memasukkan anak kami di sekolah yang menurut kami cukup elit di kawasan Condet. Bukan untuk tujuan prestise, gengsi, dan sebagainya, namun lebih karena visi dan misi yang ditawarkan. Mengingat kami merupakan orang tua yang sibuk dengan sedikit waktu yang dapat kami berikan kepada anak, kami sangat berharap ketika kami tidak mampu menjangkau dan mendidik anak kami, ibu guru mampu bekerja sama untuk membantu dan mendidik anak kami dengan sepenuh hati. Lingkungan baru ini cukup berbeda signifikan dibandingkan lingkungan PAUD. Bayangkan saja, wali murid di TK ini sebagian besar adalah orang tua dengan ekonomi kelas menengah atas yang setiap hari mengendarai mobil yang berbeda-beda dengan dandanan yang masyaAlloh. Jika saya bercerita kepada suami mengenai hal tersebut, suami saya akan menimpali sambil bercanda, "makanya belajar make-up, bun". Hahaha. iya, saya cenderung cuek dengan tampilan saya, bahkan beberapa kali saya menjemput anak dengan seragam olahraga, wkwkwk.

Permasalahan utama bukanlah di situ, saya cenderung tidak begitu memikirkan mengenai 'perbedaan kelas' tersebut. Selama kami mampu membiayai sekolah anak dengan uang halal kerja keras kami. Kami merasa tidak berbeda dengan 'mereka'. 

Permasalahan muncul adalah ketika secara akademis, saya (namun tidak dengan suami) merasa anak saya cenderung 'terlambat' dibandingkan dengan anak yang lain. Bayangkan di saat anak saya mulai beradaptasi untuk membaca suku kata "ba", "ca", dan seterusnya, seorang wali murid memasang status video tentang anaknya yang kebetulan teman sekelas Jauza sedang membaca buku cerita walau dengan sedikit terbata. Kemudian di kesempatan lain, di saat Jauza masih mondar-mandir mengulang bacaan utsmani di buku 1, beberapa temannya sudah berganti buku utsmani jilid 2.

Alhamdulillah saat itu yang cukup tertekan adalah saya, namun tidak dengan Jauza. Anak saya mah slow dan tidak begitu peduli dengan 'keterlambatan' tersebut. Sayangnya, prinsip yang selama ini saya pegang mulai luntur. Beberapa kali saya bertutur kepada suami saya mengenai 'keterlambatan' tersebut, walau suami saya cukup bijak dalam menanggapinya. Saat itu saya benar-benar panik dan tentu saja hal tersebut didominasi oleh karakter unbeatable saya. Kalau anda sekalian adalah rekan sekolah saya, pastinya anda akan tahu bagaimana karakter saya, saya tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan nilai sepuluh sempurna (bukan sembilan ya) di segala mata pelajaran, terutama untuk mata pelajaran matematika. Siapa korban dari karakter saya tersebut? tentu saja anak saya. Setiap malam saya bekerja keras untuk minimal menyejajarkan posisi anak saya dengan anak-anak tersebut. Belajar bukan lagi sesuatu yang menyenangkan, ibarat kata belajar bagi anak saya adalah sebuah monster.  Hasilnya pun tidak begitu signifikan. Ada sih sedikit perkembangan, namun ya begitulah.

Suatu hari, Alloh menakdirkan saya untuk bertemu dengan beberapa wali murid dalam sebuah forum. Dari situ saya tahu asal muasal anak-anak beliau memiliki kemajuan yang pesat. Yah, sebagian besar anak-anak tersebut mengikuti berbagai macam les dan kegiatan di luar sekolah. What? saya mulai mencerna baik-baik apa yang telah saya lakukan selama ini. Alhamdulillah Alloh menyadarkan kembali bahwa setiap anak memiliki kelebihan masing-masing yang tertanam dalam diri mereka. Saya memilih untuk berdiam diri dan maju secara alami dalam mendidik anak saya. Bukan karena saya pelit atau bahkan tidak mampu membiayai les tambahan bagi anak, tapi saya cukup sadar apa yang terbaik buat anak saya. Teringat dulu saat saya berada di kelas 3 SD dan Ibu saya memaksa saya untuk mengikuti les bahasa inggris dan saya benar-benar malas untuk datang ke kelas tersebut bahkan beberapa kali saya berbohong dan mangkir mengikuti kegiatan les tersebut. 
Namun, saya tidak menyalahkan para wali murid tersebut, saya yakin mereka telah mempertimbangkan dan mendidik anak-anak mereka dengan cara yang terbaik.

Lalu apa yang saya lakukan? saya ikhlas. Saya mulai mengubah cara saya dalam mendidik dan memberikan materi kepada anak saya. Setiap malam, saya dan suami berdiskusi tentang perkembangan anak dan bersama-sama mencari cara terbaik mendidik anak. Alhamdulillah, perlahan tapi pasti. 

Alhamdulillah ketika kita ikhlas dan senang melakukannya, semua terasa menyenangkan. Saya melihat kemajuan yang cukup pesat dalam diri anak saya. Bahkan bukan karena saya 'terobsesi, namun lebih karena kegiatan tersebut adalah kegiatan yang 'menyenangkan', saya mulai mengajarkan anak saya hal-hal di luar levelnya dengan cara yang mengasyikkan.

Saya tidak lagi terobsesi menjadikan anak saya yang terbaik, namun saya terobsesi agar saya, suami, dan anak saya membentuk keluarga yang baik. InshaaAlloh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Outbond di Pelita Desa Ciseeng

Berkenalan dengan Data Mikro BPS

Kesan Bersekolah di TKIT Alkhairaat